Friday, 3 June 2011

Radar

Militer! Pasti itu yang terlintas di benak kita kalau mendengar istilah Radar. Padahal radar sangat luas aplikasinya, tidak hanya dalam dunia militer! Teknologinya sendiri sangat sederhana dan asyik untuk dipelajari.
RADAR sebenarnya merupakan singkatan dari Radio Detection and Ranging. Teknologi ini berakar dari teknologi gelombang mikro (microwave). Prinsip yang jadi kunci utama teknologi ini adalah pantulan gelombang mikro dan sesuatu yang disebut Doppler Effect (Efek Doppler).
Untuk bisa memahami prinsipnya lebih mudah, kita bisa analogikan dengan gelombang suara (Gambar 1). Dalam gelombang suara kita mengenal yang disebut gema (echo). Kalau gelombang suara kita menumbuk suatu permukaan, gelombang itu pasti langsung dipantulkan kembali. Yang kita dengar adalah gema dari suara awal.

Gambar 1 Analogi dengan prinsip gema pada gelombang suara
Gambar 1 Analogi dengan prinsip gema pada gelombang suara

Dalam teknologi radar, gelombangnya adalah gelombang mikro. Gelombang mikro dipancarkan oleh transmitter. Jika menumbuk suatu permukaan maka gelombang ini juga mengalami pemantulan. Pantulannya ini diterima oleh alat penerima (receiver) karena gelombang mikro tidak dapat dilihat maupun didengar seperti gelombang suara biasa. Jika receiver yang digunakan mendeteksi pantulan gelombang yang dipancarkan tadi, itu berarti ada suatu benda yang menyebabkan terpantulnya gelombang tersebut. Jarak benda tersebut dapat dihitung dengan mudah jika kita tahu waktu saat gelombang pertama kali dipancarkan sampai pantulannya dideteksi..

Gambar 2 Pemantulan gelombang mikro oleh pesawat
Gambar 2 Pemantulan gelombang mikro oleh pesawat


Efek Doppler juga bisa dipahami dengan analogi pada gelombang suara. Ilustrasi yang paling mudah adalah suara sirene ambulans. Dari kejauhan kita biasanya mendengar sirene itu melengking tinggi (frekuensinya tinggi), tetapi begitu jaraknya semakin dekat, apalagi sewaktu lewat di depan kita, suaranya tidak lagi melengking (frekuensinya lebih rendah). Perubahan frekuensi yang sampai pada pendengar inilah yang disebut Doppler Effect atau Doppler Shift. Kenapa ini bisa terjadi?
Misalnya kecepatan suara 600 mph atau 1/6 mil/detik (bergantung juga pada tekanan udara, temperatur, dan kelembaban). Ini berarti jarak 1 mil akan ditempuh selama 6 detik. Kalau ambulans mulai membunyikan sirenenya sewaktu jaraknya masih 1 mil dari kita, berarti gelombang suaranya baru akan sampai di telinga kita 6 detik kemudian. Tetapi suara yang kita dengar adalah seluruh gelombang suara yang dibunyikan selama 1 menit tersebut (gelombang suara selama 1 menit kita dengar selama 54 detik). Jika kecepatan ambulans itu sendiri 60 mph, berarti dalam waktu 1 menit ambulans akan berada tepat di depan kita. Ini berarti gelombang suara pada detik ke-60 langsung sampai ke telinga kita saat itu juga. Yang terjadi adalah, jumlah gelombang suara selama 1 menit dipadatkan ke 54 detik karena adanya penundaan selama 6 detik tadi. Ini berarti frekuensinya bertambah sehingga saat ambulans mendekati kita, suaranya terdengar melengking. Tetapi saat ambulans tepat di depan kita dan mulai menjauh lagi, frekuensi berkurang dan suaranya tidak lagi terdengar melengking seperti semula.

Gambar 3 Efek Doppler
Gambar 3 Efek Doppler


Dalam teknologi radar, kedua prinsip ini dikombinasikan. Gema/pantulan gelombang mikro diukur perubahan frekuensinya (frekuensi pantulan pasti berbeda dengan frekuensi gelombang yang dipancarkan) sehingga bisa ditentukan jarak dan kecepatan benda. Tetapi jika gelombang suara dapat dianalogikan dengan gelombang mikro, kenapa kita harus repot-repot menggunakan gelombang mikro? Kenapa kita tidak menggunakan gelombang suara saja? Jawabnya mudah sekali! Semua orang pasti bisa mendengar gelombang suara, jadi jika kita menggunakan gelombang suara untuk mendeteksi keberadaan dan kecepatan suatu benda, bisa-bisa dunia ini ramai dengan hiruk-pikuk suara yang tiada habisnya. Tapi tunggu, kan bisa saja kita menggunakan suara pada frekuensi yang tidak dapat didengar manusia (ultrasound)? Ada masalah lain yang menjadi alasannya: gelombang suara tidak dapat merambat di udara pada jarak terlalu jauh (maksimal sekitar 1 mil). Lagipula, gelombang pantulannya biasanya sangat lemah sehingga susah sekali untuk dideteksi.
Karena alasan-alasan itulah kita memanfaatkan gelombang mikro! Kalau di dalam air, gelombang suara masih bisa digunakan untuk tujuan yang sama. Teknologinya disebut Sonar (Sound Radar). Tapi di udara kita harus menggunakan microwave. Data-data yang didapatkan melalui alat penerima gelombang mikro yang dipantulkan kemudian diolah, dan biasanya ditampilkan dalam bentuk gambar (Imaging Radar). Perubahan frekuensi yang dideteksi sangat bergantung pada permukaan benda yang memantulkan gelombang mikro tersebut. Bahkan tetesan air hujan pun bisa memantulkannya. Ini sebabnya radar bisa juga digunakan untuk memperkirakan cuaca. Jika gelombang mikro menumbuk pada permukaan datar, permukaan itu diilustrasikan sebagai daerah yang berwarna lebih gelap. Jika menumbuk pada permukaan yang kasar, misalnya pepohonan di hutan, gambarnya diilustrasikan sebagai daerah yang lebih terang. Inilah caranya membuat semacam peta dari data yang didapatkan melalui radar (Gambar 4). Jika hujan lebat, gambar yang didapat pasti lebih gelap dibanding saat cuaca cerah.

Gambar 4 Contoh Imaging Radar
Gambar 4 Contoh Imaging Radar


Aplikasi radar memang dimulai dari Perang Dunia II. Saat itu banyak diproduksi bom dan pesawat-pesawat yang menggunakan radar untuk mengarahkan gerakannya. Di waktu malam hari atau saat gelap dan berkabut, pesawat masih dapat terbang dengan aman dengan bantuan radar. Transmitter memancarkan gelombang mikro, kemudian receiver (yang berada pada antena yang sama) menunggu datangnya gelombang yang dipantulkan. Jika tidak ada pantulan, berarti tidak ada apa-apa di depannya sehingga pesawat bisa terus melaju dengan aman. Jika gelombang pantulan terdeteksi, itu berarti ada sesuatu yang harus dihindari supaya tidak terjadi tabrakan. Tentu saja dunia militer sangat banyak memanfaatkan teknologi ini.
Tetapi kehidupan kita sehari-hari juga banyak mengaplikasikan teknologi ini. Yang paling dekat adalah sewaktu kita pergi ke pertokoan, mal, dan supermarket. Biasanya kita menemui pintu yang otomatis membuka saat ada yang mendekat. Darimana pintu itu tahu bahwa kita ada di dekatnya? Yang menjadi ‘mata’nya adalah Radar! Gelombang mikro dipancarkan dan menumbuk tubuh kita. Dari situ bisa diketahui bahwa ada yang bergerak mendekat. Program komputer yang sudah disusun langsung memerintahkan pintu untuk membuka. Saat gelombang mikro yang dipancarkan tidak lagi dipantulkan, pintu diperintahkan untuk menutup kembali. (Yohanes Surya)

Source:  ilmuterbang.com

GPS

1. "Dalam film Enemy of The State, tokoh pengacara Robert Clayton Dean (diperankan oleh Will Smith) tiba-tiba saja hidupnya jadi kacau-balau. Ke mana pun dia pergi, selalu bisa dilacak dengan bantuan satelit GPS."
Ini adalah mitos saja apabila dikatakan keberadaan seseorang dapat dilacak dengan GPS. Memang betul satelit GPS adalah suatu sarana navigasi, tetapi GPS adalah one-way ranging system. Artinya, satelit GPS tidak "memantau" anda ke mana dan melaporkan anda di mana ke suatu institut (misalnya kepolisian).

Satelit GPS memancarkan secara kontinyu apa yang disebut sebagai ranging signal yang dapat digunakan oleh PENGGUNA untuk menentukan di mana mereka bertanya. Artinya, apabila tidak ada receiver GPS untuk menghitung posisi pengguna/user tersebut, posisi orang tersebut tidak akan diketahui.

2. GPS di bidang penerbangan.
Sesungguhnya prinsip teknologi yang digunakan GPS ini sudah exist cukup lama di bidang penerbangan. Prinsipnya persis sama dengan DME (Distance Measuring Equipment), oleh komunitas yang bergerak di bidang navigasi, dikenal dengan istilah rho-rho ranging atau distance-distance ranging. Dan seperti DME system, GPS operation adalah line-of-sight operation yang artinya apabila anda tidak dapat melihat pemancar sinyalnya (DME atau Satelit GPS), entah karena terhalang tembok ataupun karena bumi itu bulat, kita tidak bisa menggunakan sinyalnya.

Karena letak DME station di permukaan bumi (yang bulat), hal ini membuat DME sangat terbatas jangkauan operasionalnya. Selain itu, karena perhitungan distance dengan DME menggunakan sistem interogasi, kapasitas nya juga terbatas.

Lahirnya GPS yang ditempatkan di angkasa dibandingkan stasiun DME yang ada di darat, memungkinkan jangkauan global untuk penentuan posisi. Selain itu, akurasi GPS juga memungkinkan untuk mencapai apa yang dikenal sebagai RNP (Required Navigation Performance). Lahirnya GPS telah membuka suatu wawasan baru untuk dunia aviasi, akurasi selama enroute dan approach juga lebih terjamin.

3. GPS vs INS
Dalam dunia navigasi, kita kenal 2 metode untuk menentukan lokasi user: position fixing dan dead reckoning. Contoh position fixing system adalah GPS, DME, VOR, etc. Contoh dead reckoning adalah pemetaan, timing dan INS.

Dead reckoning adalah suatu cara penentuan lokasi user dengan menggunakan informasi tentang posisi awal dan kecepatan (atau percepatan). Contoh paling sederhana adalah apabila kita tahu bahwa pesawat kita bermula dari Soekarno-Hatta di koordinat sekian, dengan mengetahui kecepatan dan arah terbang kita (dan menggunakan informasi angin), kita bisa menghitung posisi pesawat tersebut setelah sekian menit terbang.

Dalam pesawat ada yang disebut sebagai INS - Inertial Navigation System. System ini terdiri dari 2 komponen sensor utama, akselerometer dan gyroscope. Akselerometer mengukur percepatan gerak pesawat dan gyroscope menentukan rotasi pesawat (nose up/down, roll left/right, yaw left/right).

Walaupun INS self-contained (artinya dapat digunakan tanpa ada bantuan dari alat eksternal - bandingkan dengan GPS yang membutuhkan satelit), tetapi akurasinya sangat rendah. Bayangkan ketika anda tidak mengetahui posisi awal anda dengan sangat akurat (misalnya anda awalnya sebenarnya berada di Halim tapi anda mengira anda ada di Soekarno-Hatta), atau anda tidak mengetahui arah terbang anda dengan akurat (misalnya anda kira anda terbang di heading 090 sementara sebenarnya anda terbang di heading 089), setelah 1 jam terbang, perkiraan anda tentang di mana anda berada bisa melenceng jauh dengan kenyataannya.
INS yang ada di pesawat walaupun sangat akurat, setelah 1 jam terbang juga memiliki error yang cukup significant. Harga INS yang ada di pesawat, satu set sistemnya bisa mencapai harga ratusan juta rupiah, dan di setiap pesawat punya beberapa set sistem ini untuk redundancy (umumnya 3).

Lahirnya GPS system dapat membantu untuk mempertahankan akurasi solusi navigasi yang dihasilkan. Hal ini dapat digambarkan demikian. Misalnya anda mengira anda terbang di heading 089 padahal anda terbang di heading 090. Setelah 1 jam terbang anda bakal mengira anda di satu tempat yang berbeda dengan tempat anda sebenarnya berada. Namun, dengan adanya GPS, anda bisa membandingkan posisi yang diberikan GPS dan posisi yang anda ukur dengan dead reckoning, kemudian mungkin anda bisa mengambil rata-ratanya (ingat GPS juga tidak error-free: ada level akurasi nya).

4. Kalau GPS memang sedemikian baik, mengapa masih memiliki berbagai system lain? Bukankah itu buang-buang duit saja (mis. untuk maintenance)?
Walaupun GPS sangat baik, namun GPS tidak fault-free dan tidak error-free. GPS signal sudah terbukti sangat mudah untuk diacak (signal jamming).

Selain itu, penggunaan GPS juga hanya bisa untuk low bandwidth system. GPS receiver pada umumnya memberikan solusi navigasi (misalnya posisi) setiap 1 detik. Apabila kita menginginkan informasi posisi kita setiap 0.0001 detik misalnya, ini tidak bisa diberikan oleh GPS. Pesawat yang bermaneuver (misalnya akrobatik) adalah contoh system dengan high bandwidth. Kalau kita menginginkan detail dari posisi pesawat tersebut sampai ke 0.0001 detik misalnya, GPS tidak bisa memberikan informasi tersebut. Berbeda dengan INS, INS dapat memberikan informasi posisi untuk system dengan high bandwidth. Hal ini menyebabkan integrasi antara INS dan GPS sangat menguntungkan. INS dapat memberikan informasi dengan cepat dan GPS dapat mempertahankan akurasi solusi tersebut.


Ada berbagai macam aplikasi dari GPS, misalnya differential positioning, dll. Semoga thread ini bisa jadi tempat diskusi untuk memperdalam pengetahuan tentang GPS.

Source:  ilmuterbang.com

Altimeter

Nilai koreksi pada minimum altitude biasanya diajarkan sebagai bagian dari pelajaran Instrument Rating, tapi kebanyakan pesawat latih tidak terbang di atas transition altitude (11 ribu feet) dan transition level (Flight Level 130), sehingga tidak dipraktekkan dalam latihan sehari-hari.
Setelah lulus dan menjadi penerbang komersial yang menerbangkan pesawat berkinerja tinggi (high performance), karena beban kerja pada waktu turun dari ketinggian jelajah cukup tinggi biasanya sebagian pilot lupa menghitung koreksi altitude ini. Koreksi ini dilakukan terhadap nilai QNH dan nilai suhu di stasiun terdekat. Tulisan ini hanyalah refreshing untuk pelajaran terkait. Meskipun teori ini dipakai pada waktu terbang dengan altimeter setting standard, perlu diingat juga bahwa altimeter akan menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada waktu terbang ke tempat dengan suhu dan/atau tekanan yang lebih rendah. Artinya pesawat lebih rendah dari penunjukkan altimeter. From high to low look out below....

Terbang dengan altimeter di set pada 1013 hPa atau 29.92 in Hg di atas transition altitude

Pada waktu terbang dekat di atas pegunungan dan altimeter setting pada keadaan standard (29.92 in Hg/1013 hPa) kita perlu memperhatikan local QNH karena jika local QNH kurang dari nilai standard maka pesawat berada pada ketinggian yang lebih rendah daripada yang terbaca di altimeter.
Karena itu, nilai minimum seperti MEA, MORA dan lainnya harus kita tambahkan dengan nilai koreksi, sehingga kita tahu seberapa jauh pesawat terbang di atas obstacle.
CASR part 91.121 membantu kita untuk memberikan tambahan nilai minimum tersebut dengan tabel yang ada. Nilai tersebut secara legal sudah memadai tapi sebenarnya kita bisa menghitung nilai koreksi tersebut berdasarkan nilai QNH yang ada. Rule of thumb di bawah ini adalah berdasarkan ICAO DOC 8168, Vol. 1, Part VI, Chapter 3.
Rule of thumb untuk konversi ini adalah:
  1. Perbedaan OAT (Outside Air Temperature) sebanyak 10° C lebih rendah (lebih dingin) dari ISA memberikan perbedaan 4% pada indikasi ketinggian.
  2. Perbedaan 1 hPa/mb memberikan perbedaan sebanyak 30 feet.
Rule of thumb di atas bisa dipakai sampai suhu -15 °C. Di bawah suhu -15° digunakan tabel yang lain yang akan diberikan di akhir tulisan.

Terbang ke Bali melewati Surabaya dan waypoint Rabol.

Untuk ilustrasi penggunaan koreksi altimeter kita akan membuat sebuah penerbangan virtual ke Denpasar yang melewati airway W33. Pada waktu terbang di airway W33 melewati VOR SBR dan waypoint RABOL, MEA yang tertulis di chart pada saat artikel ini ditulis adalah 13500 feet.
ATC memberikan clearance untuk turun ke FL 150. ATIS memberikan data QNH di bandar udara Ngurah Rai adalah 1003 hPa, dan OAT yang terbaca di pesawat adalah -25° C.
Langkah pertama: Koreksi suhu.
Perbedaan OAT (Outside Air Temperature) sebanyak 10° C lebih rendah (lebih dingin) dari ISA memberikan perbedaan 4% pada indikasi ketinggian.
ISA temperature pada sea level= 15° C dan berkurang 2° C setiap naik 1000 kaki. Maka ISA temperature pada 15000 feet (FL 150) adalah 15°C-30°C= - 15°C.
Perbedaan dengan OAT -25° C= 10°C
Maka koreksinya adalah: 135000 feet + 4% = 13500 feet + 540 feet =14040 feet.
Langkah kedua: Koreksi tekanan
Perbedaan 1 hPa/mb memberikan perbedaan sebanyak 30 feet.
1013 – 1003 = 10 hPa.
Koreksi tekanan = 10 x 30 feet = 300 feet
Total koreksi= 14040 feet + 300 feet= 14340 feet.
MEA yang telah dikoreksi adalah 14340 dan kita terbang di FL 150 = SAFE. Kita masih berada di atas MEA yang sudah dikoreksi berarti mempertahankan ketinggian tersebut adalah aman. Jika nilai koreksi MEA berada di atas cruise level maka kita harus naik ke ketinggian yang lebih tinggi dari MEA yang telah di koreksi .
Pada kasus di atas, pesawat kita terbang 15000-14340 = 660 feet di atas MEA. Jadi ketinggian pesawat sesungguhnya adalah 13500 + 660= 14160 feet biarpun altimeter menunjukkan 15000 feet atau FL 150.

Tabel koreksi

Tabel koreksi di bawah digunakan untuk koreksi yang lebih akurat pada suhu yang sangat rendah terutama yang kurang dari -15° C. Kemungkinan tabel ini tidak akan kita gunakan di Indonesia karena suhu di Indonesia biasanya lebih dari +15° C.
Contoh penggunaan tabel:
Di sebuah aerodrome dilaporkan suhu -10°C dan elevasinya 1000 feet. Pada waktu melakukan approach:
FIX Published altitude Ketinggian di atas elevasi airport Koreksi Indikasi ketinggian
FAF (Final Approach Fix) 4000 3000 290 4290
MDA (Minimum Descend Altitude) 1500 500 50 1550
Jangan lupa memberi tahu ATC bahwa anda memberikan koreksi pada altitude clearance yang diberikan. Catatan: ATC di negara tertentu seperti Canada sudah memberikan koreksi terhadap suhu, jadi penerbang tidak perlu menambahkan koreksi pada ketinggian.
Contoh NOTAM untuk Low Pressure yang ekstrim.
EGTT LONDON FIR
----------------------
1B230/10
CAUTION - LOW ATMOSPHERIC PRESSURE IS FORECAST IN THE LONDON TMA.

ALL PILOTS, ESPECIALLY THOSE INBOUND TO OR OUTBOUND FROM HEATHROW, GATWICK, LUTON, STANSTED, LONDON CITY, BIRMINGHAM, COVENTRY, BIGGIN HILL AND SOUTHEND ARE REQUESTED TO EXERCISE EXTREME CAUTION WHEN CLIMBING OR DESCENDING THROUGH THE TRANSITION ALTITUDE LEVEL DUE TO THE SIGNIFICANT DIFFERENCE BTN THE AD QNH AND THE STANDARD PRESSURE SETTING.
IN THE UK ALL PRESSURE SETTINGS ARE GIVEN IN MILLIBARS.
ISSUED BY THE LONDON TERMINAL CONTROL CENTRE.
TEL: 00 44 (0) 2380 401 110.

Fadjar Nugroho  
Source:  ilmuterbang.com

Circling Approach

“Pada tanggal 15 April 2002, pukul 11:21:17 (02:21:17 UTC), Air China flight 129, sebuah Boeing 767-200ER, terdaftar di China sebagai B2552, dioperasikan oleh Air China, terbang dari Beijing, China ke Busan, Korea, jatuh di gunung Dotdae, berlokasi 4.6 km sebelah utara runway 18R di Gimhae airport, pada ketinggian 204 meters Mean Sea Level (MSL). Flight 129 meninggalkan Beijing airport, China, dengan satu captain, dua kopilot, delapan flight attendants dan 155 penumpang, dan sedang melakukan circling approach ke runway 18R di Gimhae airport, setelah mendapatkan landing clearance. “
Demikian kira-kira terjemahan bebas dari paragraf awal laporan kecelakaan tersebut.  Pesawat tersebut sedang melakukan circling approach pada waktu terjadi kecelakaan. Di laporan sepanjang 168 halaman, dari sederet daftar kesalahan pilot dan perusahaan, ada sebuah pelajaran berharga bagi kita pilot yang masih hidup: tidak semua cirling approach bisa dilakukan. Selalu periksa circling minimum yang berlaku dan periksa kriteria circling apa yang dipakai di tempat tersebut.
Sebelum kita bahas satu persatu tentang circling approach ini, bagi penerbang pesawat komersial penulis mengingatkan bahwa ada banyak kriteria dan 2 kriteria diantaranya dipakai secara luas di dunia ini untuk membuat sebuah circling approach, yaitu PAN OPS dari ICAO dan TERPS dari US FAA.
Sementara banyak negara menjalankan kriteria dari ICAO Doc 8168, negara-negara seperti Saudi Arabia, Yunani, Korea Selatan dan lain-lain, mengambil kriteria TERPS dari US FAA. Perbedaan paling utama dari kedua kriteria tersebut adalah perbedaan kategori kecepatan pesawat dan perbedaan luas dari area yang terlindung (protected area) atau juga disebut Visual Manouvering Area. Perbedaan inilah yang menjadi salah satu penyebab kecelakaan Air China di atas.
Ada juga negara seperti Jepang yang mempunyai kriteria circling sendiri baik untuk approach speed category maupun visual manouvering areanya.
Pada gambar di atas terlihat sebuah contoh untuk category C visual manouvering area untuk kriteria ICAO PAN OPS lebih besar karena maksimum kecepatan pada waktu circling juga lebih besar. Mengambil contoh untuk kecepatan maksimum kategori C pada PAN OPS adalah 180 knots  (radius  visual manouvering area 4,5 nm) sedangkan pada TERPS adalah 121-140 knots (radius hanya 1,7 nm, tidak cukup untuk pesawat jet narrow body pada umumnya).
Pesawat seperti B737 dan A320 masuk dalam kategori C di PAN OPS tapi mungkin masuk di kategori D atau malah E di TERPS. Dengan mengambil kategori D atau E maka nilai minimumnya (MDA, minimum descent altitude) akan lebih tinggi. Pada kecelakaan di atas sepertinya penerbang tanpa sadar mengambil kategori C untuk MDAnya padahal seharusnya dia mengambil kategori D atau E karena Korea Selatan mengadopsi TERPS untuk rancangan instrument approachnya.
Bagaimana caranya mengetahui kriteria yang dipakai di sebuah chart? Pada chart profesional biasanya tertulis di chart misalnya chart keluaran dari Jeppesen ditulis di kiri bawah dari approach chart yang bersangkutan.
Di perusahaan tempat penulis bekerja, melakukan circling pada approach dengan kriteria TERPS sama sekali tidak diperbolehkan karena keterbatasan area ini untuk menghindari kecelakaan yang sama.
Circling approach pada umumnya jarang dilakukan oleh penerbang pesawat jet komersial, sehingga ada satu hal yang sering dilupakan, Missed Approach Procedure. Silahkan review kembali prosedur missed approach untuk circling approach di bagian akhir tulisan ini.
Circling Approach/ Circle to land
Biasanya pada waktu melakukan instrument approach, pada waktu mencapai Decision Height atau Missed Approach point, jika visibility cukup maka kita akan melihat landasan di depan kita. Mungkin dengan sedikit offset di sebelah kiri atau kanan. Sekarang masalahnya bagaimana jika kita harus mendarat di landasan yang tidak mempunyai instrument approach baik karena tidak memiliki perangkat yang diperlukan ataupun karena perangkat yang ada sedang rusak? Atau juga misalnya jika lokasi VOR jauh dari landasan dan kondisi geografis di sekitar landasan tidak memungkinkan untuk straight in instrument approach.
Jawaban dari masalah ini adalah melakukan circling approach, yaitu melakukan instrument approach pada sebuah landasan, lalu diteruskan dengan circle to land, mendarat di landasan yang lain. Biasanya jika final approach course alignment lebih dari 30° dari garis tengah landasan (runway centerline).  Sebagai contoh silahkan lihat gambar berikut.
 Approach runway 36 circle to land runway 18
Approach runway 36 circle to land runway 18

Pesawat ini melakukan approach untuk runway 36 sampai sebelum mencapai missed approach point dan jarak pandang memungkinkan untuk melihat landasan, lalu melakukan circle to land untuk runway 18.
Pada waktu mencapai Minimum Descent Altitude (MDA) atau Missed Approach point , pesawat boleh bertahan di ketinggian MDA dan terbang sedekat mungkin dengan landasan dan menjaga agar landasan tetap terlihat. Pesawat tidak boleh keluar dari visual manouvering area karena di luar area tersebut, obstacle clearance tidak terjamin seperti yang terjadi pada kecelakaan di atas.
Haruskah pesawat turun ke MDA pada waktu melakukan circling approach? Tidak. Jika landasan terlihat di ketinggian normal  VFR circuit pattern dan penerbang yakin dapat menjaga agar landasan tetap terlihat pada ketinggian tersebut maka bisa saja circle to land dilaku
kan di ketinggian sedekat mungkin dengan  normal circuit pattern yang lebih tinggi dari MDA.
Contoh beberapa model dari circle to land
Contoh beberapa model dari circle to land


Jika pada sebuah approach yang sudutnya kurang dari 90 derajat dari landasan seperti pada gambar A dan B berikut, maka bisa dilakukan landing di landasan jika landasan terlihat dengan jarak yang cukup seperti pada gambar A.
Jika pada waktu landasan terlihat, jarak pesawat ke landasan tidak cukup untuk melakukan pendaratan maka dilakukan circle to land seperti pada gambar B. Patut di ingat arah downwind harus mengikuti aturan dari chart yang ada. Tidak bebas untuk mengambil left atau right downwind



Fadjar Nugroho .
Source:  ilmuterbang.com

Sunday, 29 May 2011

Stuttgart X

Product description:

The first airport of German Airports 1 is now "ready for departure" in Microsoft Flight Simulator. In good tradition, the award winning German Airports team provides this scenery of Stuttgart airport in a stunning quality.


This add-on of Stuttgart airport represents the latest status of development of the real airport. The buildings, the layout of the runways and taxiways as well as the navaids are exactly as they are in reality. Numerous new buildings and the newly built exhibition center right next to the airport have also been included.
A photo real ground texture has been used for the base of the scenery to ensure a real life feeling of the airport. The terrain has been edited to be compatible with other add-ons such as „Scenery Germany 1“,„German Landmarks“ and “Ultimate Terrain Europe“. One of many highlights of this scenery are the Dynamic Airport Enhancement Services AESLite which brings a near to life virtual reality into the scenery with its vehicles on the apron and on the near motorways!

Many years of experience in creating virtual airport sceneries have once again paid off and can bee seen in the new masterpiece of Stuttgart Airport which not only convinces with its rich details but also with a terrific frame rate.
Video:

Features:
  • Detailed representation of the airport and close surroundings, incl. important objects
  • High resolution photorealistic ground textures, based on aerial images
  • Authentic 3D models of all airport buildings and facilities
  • Aicraft Parking and Information System (APIS)
  • Including all navaids (ILS,VOR/DME,NDB,ATIS)
  • Amazing night effects
  • Fully acurate runway and taxiway lights
  • Dynamic vehicles on the aprons and motorways by AESLite
  • Compatible with AES (Airport Enhancement Services) 
  • Many scenery effects
  • Seasonal ground textures
  • FSX- and FS2004 version included
  • Complete manual (German, English) with additional information about the airport
  • Original airport charts



Awards/Reviews:
Award for outstanding Flight Simulator Design, Flusipilot.de


Conclusion by Flusipilot.de (german):"Die Neuauflage von Stuttgart ist dem Entwicklerteam sehr gut gelungen. Eine Vielzahl an statischen und dynamischen Objekten, die Qualität der Gebäude und Texturen und die tolle Performance spreche für sich. Egal ob man gerne mit einer Cessna fliegt, Touristen in den Süden befördert oder Geschäftleute nach Berlin bringt, diese Szenerie ist für jeden virtuellen Piloten ein MustHave und ich kann sie absolut jedem uneingeschränkt empfehlen. Für die hervorragenden Leistungen hat sich das Produkt den Flusipilot.de Award reichlich verdient." Final conclusion: 10 out of 10 starsRead review
Conclusion by simFlight.com:"I thought Stuttgart X was another wonderful airport in this current crop of recently released German airports. Visually it has plenty to keep those that enjoy eye candy happy while still maintaining good performance. With it’s long runway it can be forgiving to the novice pilot and accommodate those that enjoy flying the heavies."
Read review


System requirements for FSX:Microsoft Flight Simulator X (SP2, Acceleration Pack or Gold Edition)
Windows 7/Vista/XP (SP2)
3 GHz processor (Dual Core recommended)
2 GB RAM (4 GB recommended)
3D graphics card wit at least 256 MB (512 MB recommended)
Download-Size: 110 MB
Installations-Size: 250 MB

System requirements for FS2004:
Microsoft Flight Simulator X (SP2, Acceleration Pack or Gold Edition)
Windows 7/Vista/XP (SP2)
3 GHz processor
2 GB RAM
3D graphics card with 256 MB
Download-Size: 110 MB
Installations-Size: 250 MB

FSX & FS9 FS2Crew: iFly 737NG "Button Control" Edition

Product description:

THE MOST `REALISTIC` 737NG CREW SIMULATION EVER... Designed in close consultation with a real-world 737 Captain, this new Edition of FS2Crew brings your iFly 737NG to life by adding an interactive flight, cabin and ground crew to the aircraft!


With the iFLY`s powerful SDK, the integration between FS2Crew and the iFly 737 is seamless and clean. Take your iFly 737 to the next level with FS2Crew. It will change the way you fly!
Product notes:
The product is `Button Control`, not `Voice Control`. The benefit of this is that `anyone` can use the software. You don`t need a microphone, you don`t need to speak English, and you don`t need to be able to set your Windows Speech Recognizer to English.
 Video:







Features:
  • Real-World B737NG SOPs tested and designed by an active B737 Captain
  • New `visual` interface system that makes using the software very easy and intuitive
  • Direct and seamless integration owing to the iFly`s very powerful SDK (no keypresses or simulated mouse clicks used for FO interaction)
  • Normal Checklists
  • B737 specific Crew flows (Captain and FO, PF and PM)
  • FA interaction
  • Start Crew/Pushback interaction
  • Cabin announcements
  • Captain PAs
  • External ground/air starts (cross bleed engine starts)
  • Bleeds off takeoffs and landings
  • Departure profiles (NADP 1 and NADP 2)
  • Various approach profiles and Missed Approaches
  • Turn-arounds/Thru-Flights
  • De-Icing at the gate or pad
  • Circuits/Touch and Go`s
  • High Altitude airport procedures
  • External Air/GPU handling (Engine Start and Pushback/ Gate Arrival)
  • Free version of FS Video Marshaller (a 14 EUR value). The Video Marshaller can even interface with the iFly 737NG (Ground Air/Power)

System requirements:Microsoft Flight Simulator X or 2004
IFLY 737 NG from Flight 1
Download-Size: 265 MB

Sunday, 1 May 2011

Wilco Harier Jump Jet

The total VSTOL experience with stunning liveries
and the most accurate and detailed model ever.

Background :
The first Harrier took to the air in October 1961.

The unique vectored thrust engine and nozzle arrangement remained basically unchanged throughout the life of the type right through to the final versions.

The first production types were designated GR1 and were delivered to RAF squadrons as attack fighter-bombers in mid-1967. The Royal Navy was also interested in the Harrier and ordered a special sea-going version called the Sea-Harrier FRS1 or more commonly, “SHAR”. Basically a GR1/3, the FRS1 differed in that it had a conventional pointed nose with concealed radar and as such is a cleaner design in that area.
The GR3 is the first of the type to see combat action and flew with the RAF partnering Royal Navy FRS1s during the Falklands conflict of 1982.

The Harrier went on to be adopted by the US Navy and Air Force and was continually upgraded with very sophisticated avionics and weapons systems and designated AV8-A. Two-seat trainers were also built and later models were bought by the Spanish Navy.
Recently retired from active service in the UK, the Harrier must surely take its place in aviation history as one of the great aircraft advances of the modern age.
FEATURES :
Exterior
  • Fully detailed, accurate exteriors depicting the famous GR3 (RAF) and FRS1 (RN) from the Falklands War period.
  • Many detailed animations including retracting eyelids over the glass radar nose (GR3), jet nozzles, flaps and all flight control surfaces and landing gear.
  • Engine vents and central fan rotor are also animated correctly.
  • Animated windshield wiper is controlled from cockpit and interacts with real time weather conditions.
  • Selectable loadouts for weapons and external tankage.
  • Selectable refuelling probes (for visuals).
  • Animated pilot in fully detailed ejection seat.
  • Full ground set including chocks, flight flags and engine intake covers.
  • Fully modelled, switchable ground power unit trailer
  • Accurate weathered texture sets depicting various frontline and training units of the RAF and Royal Navy, low and high vis schemes used in the Falklands War.
Interior
  • Fully detailed accurate Harrier cockpit includes working nozzle control.
  • Fully featured Virtual Cockpit with illuminated HUD and 3D gauges including engine set and tank selectors, navigation gauges, radios and weapons loadouts. Fuel dump function is also included.
  • Stunning night lighting effects in the cockpit with realistic instrument and switch back-lighting.
  • Fully functional Head Up Display : airspeed, barometric altitude, magnetic heading, flight path vector, radio-altitude, navigation information, target designation box, alert messages, G load factor, Mach number, bank angle.
  • Advanced radar showing AI traffic and other player aircrafts (if used in a multi-player session). It features three scanning modes and target information. The locked target can be displayed on the HUD. 
  • Many detailed animations and a full set of functional switches and knobs. Just about everything in the Harrier cockpit is switchable and all controls are accurately reproduced for an immersive experience!
Flight Model
  • A unique flight model has been developed for this aircraft which allows highly realistic simulation of the vertical takeoff and landing VTOL characteristics of the Harrier. Even the famous “airshow bow” can be replicated!
  • Like the real Harrier, an "autoSTOL" lever has been added. It presets the nozzles to a predetermined angle for an automatic selection of different settings : VTOL, VSTOL STOL and conventional takeoff and landing. No longer do the pilots have to select a setting for the nozzles (although they can if they wish). This brings an incredible manoeuvrability, just like the real thing!
  • VTOL,STOL and conventional flights can be carried out with complete authenticity thanks to brand new programming technology replicating the exact auto nozzle/flap settings. No other simulation technique can replicate this as accurately!
  • The flight dynamics are true to type and require skill to master.  This Harrier simulation is demanding yet very rewarding!
  • An authentic sound set is included.
  • Special effects include exhaust smoke which changes with nozzle position and ground effect effects to make the visuals highly realistic.
  • Cannon gun effect, firable from the cockpit, for the ADEN cannon pods.
Liveries
Four liveries BAe Harrier GR3 :
1) 1 Squadron RAF as operated in the South Atlantic during the Falklands War 1982
2) 4 Squadron RAF as operated in Gutersloh Germany, 1992
3) 3 Squadron RAF Wittering
4) Dirty' wartime version with no markings
Three liveries FRS1 Sea Harrier :
1) 899 NAS Royal Navy 1982 Falklands conflict
2) Indian Navy SHAR FRS51
3) 801 NAS Royal Navy Blue/White scheme
A full paint kit is also provided.
Guess & Win contest - Winners :
John Bell (UK) - Vic Bond (Australia) - Sylvain Jacob (Canada) - Petros Spanakos - Patrick Ordan (France).