Friday 24 June 2011

AIRAC 1106

airac adalah database untuk FMC di flight simulator. baik Flight 1, Wilco Feelthere, PMDG, Dan lain-lain.
Dan Inilah link AIRAC 1106


A320PIC_1106
IFLY_1106
LEVELD_1106
PMDG_1106
WILCO_FT_1106
F1ATR_1106
CRJ_1106
FSNAV_1106
PSS_1106
VASFMC_1106

Thursday 9 June 2011

Flight Simulator International Fans Club Screen Shot and logo Competition

LOGO AND SCREEN SHOT COMPETITION



silahkan anda semua memasukan screen shot dan logo Flight Simulator International Fans Club anda di sini, max 1 screen shot dan logo per peserta, bagi yang memiliki screen shot dan logo Flight Simulator International Fans Club akan dimasukan di Belajar-Terbang dan Flight Simulator International Fans Club akan menjadi salah satu sponsor kami, terima kasih


Rules
Bagi Ketua Flight Simulator International Fans Club harap tidak mengikuti acara ini
Pengiriman harus sampai secepatnya hingga tanggal 30 Juni 2011
Ukuran MAX screen shot 800X600, logo bebas.
Pemilihan Pemenang akan diumumkan pada tanggal 3 Juli 2011 dan akan dipilih melalui poling di site Belajar-Terbang, Forum ini, dan di Flight Simulator International Fans Club terima kasih

Terima Kasih sampai jumpa
Regards
Desanggi
Kembali Ke Atas

Friday 3 June 2011

Guidance, Navigation and Control


gnc.jpg
Teknik Penerbangan memiliki 5 pilar utama: Aerodinamika, Struktur, Propulsi, Mekanika Terbang, dan Guidance, Navigation and Control atau yang lebih dikenal dengan singkatan GNC. Dalam artikel ini, saya ingin mengupas lebih lanjut pilar terakhir tadi, Guidance, Navigation and Control (GNC).

GNC adalah bidang kajian yang sangat luas. Insinyur dan peneliti dari berbagai bidang melakukan berbagai macam riset dan pengembangan di area ini, misalnya dari teknik penerbangan, teknik elektro, teknik komputer, teknik industri, matematikawan, statistikawan, dll.

Istilah di dunia awam, GNC lebih dikenal dengan istilah navigasi saja. Namun, bidang ini sesungguhnya meliputi tiga kelompok besar bidang kajian yang masing-masing saling terkait satu sama lain. Penulis di sini ingin berbagi sudut padang sebagai seorang insinyur dan peneliti di bidang ini. Semoga menambah wawasan para pembaca.


1. Navigation

Dari awal, ketika manusia mengenal mobilisasi, bahkan sebelum masuknya era transportasi bermesin, ketika berpindah dari satu tempat ke tempat lain pertanyaan paling mendasar (fundamental) yang ditanyakan kepada diri mereka adalah, "Di manakah saya berada?" Bermula dari mengenal petunjuk-petunjuk di sekitar rute mereka (landmark) seperti pohon, gunung, dll, dalam pergerakan mereka, manusia mengetahui di mana mereka berada. Seiring dengan majunya pemetaan dan pelayaran, kita juga mengenal bahwa kita dapat menentukan posisi kita dengan memperhatikan benda-benda langit (celestial). Dan sebenarnya dunia pelayaran telah memberikan sumbangan yang sangat besar di bidang celestial navigation ini.

Dalam bidang navigasi, ada dua bagian besar metode navigasi: dead reckoning dan position fixing. Dead reckoning adalah cara yang paling sederhana untuk bernavigasi. Dengan mengetahui arah gerak kita (misalnya dengan kompas), kecepatan kita (misalnya dengan speedometer) dan waktu tempuh (misalnya dengan stopwatch), kita bisa mengetahui seberapa jauh kita telah berpindah. Tentunya dengan mengetahui di mana kita berada waktu kita mulai perjalanan tersebut (misalnya kita tahu bahwa kita mulai dari rumah), kita bisa melihat di peta di manakah kita setelah sekian lama bergerak. Ini adalah prinsip utama dari dead reckoning navigation.

dr.gif
Dalam penerbangan, dead reckoning dapat dilakukan dengan manual dengan mengetahui airspeed dan wind information serta arah pergerakan kita. Namun juga dapat dilakukan dengan bantuan sensor yang dikenal dengan nama Inertial sensor: accelerometer dan gyroscope. Accelerometer adalah sensor akselerasi dan gyroscope adalah sensor rotasi pesawat. Dengan menggabungkan kedua jenis sensor ini, pesawat memiliki yang dikenal sebagai Inertial Measurement Unit (IMU) untuk melakukan dead reckoning. Dilengkapi dengan sebuah komputer, pesawat dengan Inertial Navigation System (INS) ini dapat menghitung posisi mereka setelah bernavigasi selama sekian lama.

combi_show.jpg
Metode lain untuk melakukan navigasi adalah dengan menggunakan metode yang dikenal dengan istilah position fixing. Dengan menggunakan peta dengan mengetahui bearing ataupun jarak dari beberapa landmark yang dapat diidentifikasi di peta, kita bisa menentukan lokasi kita. Perbedaan utama dari metode ini adalah jika bernavigasi menggunakan metode ini, perlu ada alat bantu yang ada di luar sensor yang ada di dalam pesawat. Contoh alat-alat bantu ini adalah Very-high Frequency Omnidirectional Range (VOR), Distance Measuring Equipment (DME), Non-Directional Beacon (NDB), LOng RANge Navigation (LORAN), dan Global Positioning System (GPS).

Kalau empat sensor yang pertama disebutkan di atas adalah terrestrial (ada di muka bumi), yang terakhir dikenal dengan sebutan Global Navigation Satellite System (GNSS). GPS adalah GNSS milik Amerika. Beberapa GNSS milik negara lain adalah GLONAS(Rusia) dan Galileo (Uni Eropa).

posfix.gif
Navigasi sebenarnya adalah bidang yang cukup "straight-forward", jelas, karena metode di dalam bidang ini sudah lumayan "mature"/dewasa. Permasalahan utama yang terus menjadi bahan pemikiran dan penelitan banyak orang adalah dikarenakan tidak ada sensor yang sempurna. Setiap sensor memiliki karakteristik error/kesalahan masing-masing. Contohnya pada dead-reckoning system adalah error terakumulasi seiring dengan berjalannya waktu. Namun dead-reckoning system sendiri memiliki keunggulan bahwa system ini tidak tergantung dengan sensor di luar system ini (misalnya sinyal satelit GPS). Metode position fixing tidak memiliki karakteristik error yang tergantung dengan waktu, namun sinyalnya tidak selalu ada karena system ini membutuhkan anda dalam jangkauan line-of-sight sinyal radio mereka. Bagaimana menggabungkan berbagai macam keunggulan dan kelemahan masing-masing system inilah yang terus mengisi perkembangan di komunitas navigasi.

2. Guidance

Setelah bisa menjawab pertanyaan "Di manakah saya?" pertanyaan berikutnya adalah, "Bagaimana saya sampai ke tempat tujuan?". Masalah yang dihadapi oleh komunitas yang mengembangkan Guidance adalah perencanaan rute. Mungkin ini tidak menjadi suatu permasalahan yang sangat berarti buat para penerbang/pilot di dunia komersial dengan adanya flight dispatch, tetapi ketika menyangkut penerbangan militer (misalnya untuk misille, rocket, dll) ataupun penerbangan tanpa awak (UAV), perencanaan rute bisa menjadi permasalahan yang besar pula.

Pertanyaan timbul adalah bagaimana saya bisa bergerak dari titik A ke titik B. Secara teoretik, jumlah trajectory yang bisa diambil adalah tak hingga (infinity). Misalnya, anda berada di Jakarta, bagaimana caranya ke Surabaya? Anda bisa terbang dengan garis lurus sampai ke Surabaya. Anda juga bisa terbang ke Banjarmasin dulu baru menuju ke Surabaya. Anda juga bisa terbang mengitari Jakarta 10 kali sebelum terbang dengan garis lurus ke Surabaya... dan seterusnya, ad nauseam. Pertanyaannya adalah, kriteria apakah yang menjadi dasar suatu rute diambil.

Masalah mengenai path planning ini banyak dapat diformulasikan sebagai problem mengenai optimal control yang bisa membawa suatu objek dari titik A ke titik B dengan kriteria/cost function tertentu. Misalnya, jarak terpendek, waktu terpendek, rute terhemat (bahan bakar), menghindari tabrakan ketika bernavigasi di daerah kota (misalnya untuk UAV), dll. Berbagai metode optimisasi digunakan untuk menentukan trajectory yang terbaik menurut suatu kriteria. Tentu saja, kriteria yang dipilih menentukan trajectory yang dihasilkan. Umumnya kriteria ini tergantung dari misi yang dijalankan.

Sering kali, metode yang digunakan untuk menghasilkan trajectory ini membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dihasilkan sehingga komputasi secara real-time bisa menjadi permasalahan. Contohnya ketika menghitung trajectory yang paling optimal dengan menggunakan energy dari angin, karena informasi angin lokal diperoleh ketika sudah airborne/ lepas landas, trajectory yang optimal harus dikalkulasi online secara real-time. Ini adalah salah satu tantangan untuk komunitas di bidang ini. Banyak pendekatan yang bisa diambil seperti dengan genetic algorithm, local discrete optimization, dst.

3. Control

Setelah mengetahui rute yang akan dijalani, pesawat perlu menjalani rute tersebut. Di bidang control, kita mempelajari bagaimana pesawat tersebut dapat mengikuti perintah yang diberikan baik oleh pilot maupun autopilot/komputer. Tentu saja di sini yang dimaksudkan adalah respon pesawat tersebut terhadap input di control surface pesawat (elevator, aileron dan rudder) dan engine throttle. Setiap pesawat memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung dari geometri dan rancangan dari pesawat tersebut. Ada pesawat yang mudah dikendalikan karena sangat stabil, namun ada pula yang lebih "liar" namun gampang ber-manuever. Respon pesawat yang berbeda-beda ini bervariasi tergantung dari kecepatan, berat, ketinggian, kondisi atmosfir, dll. Hal ini menyebabkan bahkan untuk satu pesawat yang sama, sangat sulit untuk merancang suatu controller yang dapat memberikan respon yang identik untuk berbagai kondisi penerbangan.
axes.jpg
Pilot manusia dapat dilatih untuk dapat mengendalikan pesawat dalam berbagai macam kondisi, tetapi dengan semakin bertambah rumit dan kompleksnya penerbangan dan sistem kokpit, dibutuhkan autopilot untuk membantu kerja penerbang. Bagaimanakah melatih autopilot? Berbagai macam teknik dipelajari untuk dapat mengendalikan pesawat pada berbagai kondisi penerbangan, misalnya robust control theory, adaptive controller, berbagai metode nonlinear control, dll. Tidak hanya itu, saat ini juga sedang marak penelitian untuk fault tolerant control. Artinya, bagaimanakah suatu pesawat masih dapat dikendalikan ketika pesawat memiliki suatu permasalahan di control systemnya (misalnya rudder jam, engine flame-out, dll). Pilot manusia belajar dan dilatih untuk mengendalikan pesawat dalam kondisi-kondisi abnormal ini, namun untuk mengurangi human error dan mengurangi beban kerja penerbang, para insinyur dan peneliti terus mempelajari bagaimanakah merancang autopilot yang dapat membantu pesawat tersebut untuk terbang sebaik mungkin pada kondisi abnormal tersebut.

Tidak ada satupun bidang yang kami coba uraikan di atas ini yang dapat dituliskan hanya dalam satu lembar kertas. Semua bidang yang disebutkan di atas ini adalah bidang yang sangat luas. Artikel ini hanya mencoba memberikan gambaran/big-picture dari sudut pandang seorang yang bekerja di bidang ini.

Source:  ilmuterbang.com

Electronic Flight Bag

Image
EFB di Boeing 777
EFB singkatan dari Electronic Flight Bag, adalah tambahan suatu alat bantu berupa penambahan seperangkat computer untuk memudahkan dan meringankan pekerjaan rutin Pilot dan tidak menggunakan kertas lagi (less paper cockpit).
Lokasi EFB sendiri di tempatkan disamping kiri (capt) dan kanan (first officer).Kedua computer ini bekerja independent namun demikian apabila seorang captain ingin mengetahui atau membaca apa yang sedang di baca copilot nya bisa melihat dengan menekan tombol transfer.
Fitur dari EFB bergantung pada option atau pilihan dari masing-masing airline. Biasanya airline sudah mempunyai patokan atau standar option apa saja yang di perlukan untuk penerbangnya dalam EFB yang terpasang di pesawatnya. Yang dapat ditampilkan oleh penerbang dalam sebuah EFB antara lain:
  1. Airport Map: sangat berguna untuk taxy di airport yang besar dan complicated taxy way nya, terlebih dalam keadaan Low visibility.
  2. Performance: membantu seorang penerbang dalam perhitungan weight and balance ( a/c configuration, flap setting, thrust setting) sehingga bisa menghemat engine life/fuel consumption bahkan untuk landing apabila ada penalty sewaktu ada kerusakan seperti engine fail, hydraulic problem dsb.
  3. Terminal Chart, penerbang tidak usah lagi membuka chart dalam bentuk kertas sehingga akan mempersingkat waktu briefing (setelah penerbang set up cockpit).
  4. Video : untuk security sehingga seorang pilot akan mengetahui siapa yang akan masuk ke cockpit atau ada di depan pintu cockpit.
  5. Dokumen: Semua dokumen yg di perlukan dapat tersedia dalam EFB seperti FCOM/AOM, MEL, pengumuman untuk kru/ Air crew Notice, dll.
Mungkin ada yg bertanya jika penerbang pada waktu taxy ingin melihat MEL, apa akan lebih lama dari cara conventional? Tentunya ini adalah masalah kebiasaan saja. Apabila sudah terbiasa tentu akan lebih cepat karena penerbang bisa mencari / search title apa yg akan dicari. EFB sendiri memakai sistem operasi LINUX dan Windows sehingga mudah dipakai dan antarmuka yang dipakai adalah touchscreen, jadi tidak membutuhkan tombol yang banyak.
Sedikit penjelasan tentang option-option yang ada tersebut:
  1. Airport Map. Dengan tampilan yang sama dengan GPS yg kita pasang di mobil, apabila semua ada di data base akan menunjukan posisi pesawat saat itu dengan bantuan satelit. Dengan kemampuan Zoom, penerbang dapat melihat pesawatnya sendiri selagi taxy ( HDG-UP mode ). Gambar yang tampil dapat membantu penerbang meningkatkan kewaspadaan akan posisi pesawat apakah sudah sesuai intruksi ATC, namun demikian Factory tidak menganjurkan untuk dipakai sebagai main navigation, sehingga cross check secara visual tetap diperlukan.
  2. Performance : setelah penerbang mendapat laporan cuaca dan keadaan pesawat, jika ada penalty ( berdasarkan MEL /CDL) penerbang tinggal memasukan data:
    • Runway yang dipakai, termasuk jika ingin take off dari intersection (tidak full length yang tersedia dari runway ).
    • Kondisi runway juga dimasukkan seperti dry, wet, slush, angin, suhu, tekanan udara ( dengan memasukkan nilai QNH).
    • Tenaga yang diinginkan: full thrust rating, flexible atau derated.
    • Konfigurasi yang diinginkan penerbang: Flaps, pakai anti ice/tidak, bleeds/packs on/off
    • Kemudian penalty yg mempengaruhi performance, apabila semua data2 sudah di masukan maka dlm hitungan detik sudah akan muncul hasilnya.
  3. Terminal chart : di sini banyak sekali option nya dari mulai penerbang briefing sebelum take off, enroute alternate, destination sampai destination alternate, semua ada.
    Sebagai contoh penerbang sedang terbang dan melihat di tampilan FMS ada airport dengan 4 letter code yang tidak diketahui oleh penerbang. Dengan memasukan 4 letter ICAO code maka penerbang bisa tahu nama airport dengan segala fasilitas nya. Contohnya Bandar Soekarno Hatta adalah WIII, 4 letter code ini biasanya tampil di layar navigasi penerbang di pesawat dengan Electronic Flight Instrument System, EFIS).
    Begitu pula dengan halnya take off/landing briefing. Apabila penerbang sudah memilih chart mana saja yg di perlukan dengan mudah dan cepat penerbang bisa tampilkan sehingga briefing lebih singkat waktu dengan tidak mengurangi kualitas briefing itu sendiri.
Source:  ilmuterbang.com

    Radar

    Militer! Pasti itu yang terlintas di benak kita kalau mendengar istilah Radar. Padahal radar sangat luas aplikasinya, tidak hanya dalam dunia militer! Teknologinya sendiri sangat sederhana dan asyik untuk dipelajari.
    RADAR sebenarnya merupakan singkatan dari Radio Detection and Ranging. Teknologi ini berakar dari teknologi gelombang mikro (microwave). Prinsip yang jadi kunci utama teknologi ini adalah pantulan gelombang mikro dan sesuatu yang disebut Doppler Effect (Efek Doppler).
    Untuk bisa memahami prinsipnya lebih mudah, kita bisa analogikan dengan gelombang suara (Gambar 1). Dalam gelombang suara kita mengenal yang disebut gema (echo). Kalau gelombang suara kita menumbuk suatu permukaan, gelombang itu pasti langsung dipantulkan kembali. Yang kita dengar adalah gema dari suara awal.

    Gambar 1 Analogi dengan prinsip gema pada gelombang suara
    Gambar 1 Analogi dengan prinsip gema pada gelombang suara

    Dalam teknologi radar, gelombangnya adalah gelombang mikro. Gelombang mikro dipancarkan oleh transmitter. Jika menumbuk suatu permukaan maka gelombang ini juga mengalami pemantulan. Pantulannya ini diterima oleh alat penerima (receiver) karena gelombang mikro tidak dapat dilihat maupun didengar seperti gelombang suara biasa. Jika receiver yang digunakan mendeteksi pantulan gelombang yang dipancarkan tadi, itu berarti ada suatu benda yang menyebabkan terpantulnya gelombang tersebut. Jarak benda tersebut dapat dihitung dengan mudah jika kita tahu waktu saat gelombang pertama kali dipancarkan sampai pantulannya dideteksi..

    Gambar 2 Pemantulan gelombang mikro oleh pesawat
    Gambar 2 Pemantulan gelombang mikro oleh pesawat


    Efek Doppler juga bisa dipahami dengan analogi pada gelombang suara. Ilustrasi yang paling mudah adalah suara sirene ambulans. Dari kejauhan kita biasanya mendengar sirene itu melengking tinggi (frekuensinya tinggi), tetapi begitu jaraknya semakin dekat, apalagi sewaktu lewat di depan kita, suaranya tidak lagi melengking (frekuensinya lebih rendah). Perubahan frekuensi yang sampai pada pendengar inilah yang disebut Doppler Effect atau Doppler Shift. Kenapa ini bisa terjadi?
    Misalnya kecepatan suara 600 mph atau 1/6 mil/detik (bergantung juga pada tekanan udara, temperatur, dan kelembaban). Ini berarti jarak 1 mil akan ditempuh selama 6 detik. Kalau ambulans mulai membunyikan sirenenya sewaktu jaraknya masih 1 mil dari kita, berarti gelombang suaranya baru akan sampai di telinga kita 6 detik kemudian. Tetapi suara yang kita dengar adalah seluruh gelombang suara yang dibunyikan selama 1 menit tersebut (gelombang suara selama 1 menit kita dengar selama 54 detik). Jika kecepatan ambulans itu sendiri 60 mph, berarti dalam waktu 1 menit ambulans akan berada tepat di depan kita. Ini berarti gelombang suara pada detik ke-60 langsung sampai ke telinga kita saat itu juga. Yang terjadi adalah, jumlah gelombang suara selama 1 menit dipadatkan ke 54 detik karena adanya penundaan selama 6 detik tadi. Ini berarti frekuensinya bertambah sehingga saat ambulans mendekati kita, suaranya terdengar melengking. Tetapi saat ambulans tepat di depan kita dan mulai menjauh lagi, frekuensi berkurang dan suaranya tidak lagi terdengar melengking seperti semula.

    Gambar 3 Efek Doppler
    Gambar 3 Efek Doppler


    Dalam teknologi radar, kedua prinsip ini dikombinasikan. Gema/pantulan gelombang mikro diukur perubahan frekuensinya (frekuensi pantulan pasti berbeda dengan frekuensi gelombang yang dipancarkan) sehingga bisa ditentukan jarak dan kecepatan benda. Tetapi jika gelombang suara dapat dianalogikan dengan gelombang mikro, kenapa kita harus repot-repot menggunakan gelombang mikro? Kenapa kita tidak menggunakan gelombang suara saja? Jawabnya mudah sekali! Semua orang pasti bisa mendengar gelombang suara, jadi jika kita menggunakan gelombang suara untuk mendeteksi keberadaan dan kecepatan suatu benda, bisa-bisa dunia ini ramai dengan hiruk-pikuk suara yang tiada habisnya. Tapi tunggu, kan bisa saja kita menggunakan suara pada frekuensi yang tidak dapat didengar manusia (ultrasound)? Ada masalah lain yang menjadi alasannya: gelombang suara tidak dapat merambat di udara pada jarak terlalu jauh (maksimal sekitar 1 mil). Lagipula, gelombang pantulannya biasanya sangat lemah sehingga susah sekali untuk dideteksi.
    Karena alasan-alasan itulah kita memanfaatkan gelombang mikro! Kalau di dalam air, gelombang suara masih bisa digunakan untuk tujuan yang sama. Teknologinya disebut Sonar (Sound Radar). Tapi di udara kita harus menggunakan microwave. Data-data yang didapatkan melalui alat penerima gelombang mikro yang dipantulkan kemudian diolah, dan biasanya ditampilkan dalam bentuk gambar (Imaging Radar). Perubahan frekuensi yang dideteksi sangat bergantung pada permukaan benda yang memantulkan gelombang mikro tersebut. Bahkan tetesan air hujan pun bisa memantulkannya. Ini sebabnya radar bisa juga digunakan untuk memperkirakan cuaca. Jika gelombang mikro menumbuk pada permukaan datar, permukaan itu diilustrasikan sebagai daerah yang berwarna lebih gelap. Jika menumbuk pada permukaan yang kasar, misalnya pepohonan di hutan, gambarnya diilustrasikan sebagai daerah yang lebih terang. Inilah caranya membuat semacam peta dari data yang didapatkan melalui radar (Gambar 4). Jika hujan lebat, gambar yang didapat pasti lebih gelap dibanding saat cuaca cerah.

    Gambar 4 Contoh Imaging Radar
    Gambar 4 Contoh Imaging Radar


    Aplikasi radar memang dimulai dari Perang Dunia II. Saat itu banyak diproduksi bom dan pesawat-pesawat yang menggunakan radar untuk mengarahkan gerakannya. Di waktu malam hari atau saat gelap dan berkabut, pesawat masih dapat terbang dengan aman dengan bantuan radar. Transmitter memancarkan gelombang mikro, kemudian receiver (yang berada pada antena yang sama) menunggu datangnya gelombang yang dipantulkan. Jika tidak ada pantulan, berarti tidak ada apa-apa di depannya sehingga pesawat bisa terus melaju dengan aman. Jika gelombang pantulan terdeteksi, itu berarti ada sesuatu yang harus dihindari supaya tidak terjadi tabrakan. Tentu saja dunia militer sangat banyak memanfaatkan teknologi ini.
    Tetapi kehidupan kita sehari-hari juga banyak mengaplikasikan teknologi ini. Yang paling dekat adalah sewaktu kita pergi ke pertokoan, mal, dan supermarket. Biasanya kita menemui pintu yang otomatis membuka saat ada yang mendekat. Darimana pintu itu tahu bahwa kita ada di dekatnya? Yang menjadi ‘mata’nya adalah Radar! Gelombang mikro dipancarkan dan menumbuk tubuh kita. Dari situ bisa diketahui bahwa ada yang bergerak mendekat. Program komputer yang sudah disusun langsung memerintahkan pintu untuk membuka. Saat gelombang mikro yang dipancarkan tidak lagi dipantulkan, pintu diperintahkan untuk menutup kembali. (Yohanes Surya)

    Source:  ilmuterbang.com

    GPS

    1. "Dalam film Enemy of The State, tokoh pengacara Robert Clayton Dean (diperankan oleh Will Smith) tiba-tiba saja hidupnya jadi kacau-balau. Ke mana pun dia pergi, selalu bisa dilacak dengan bantuan satelit GPS."
    Ini adalah mitos saja apabila dikatakan keberadaan seseorang dapat dilacak dengan GPS. Memang betul satelit GPS adalah suatu sarana navigasi, tetapi GPS adalah one-way ranging system. Artinya, satelit GPS tidak "memantau" anda ke mana dan melaporkan anda di mana ke suatu institut (misalnya kepolisian).

    Satelit GPS memancarkan secara kontinyu apa yang disebut sebagai ranging signal yang dapat digunakan oleh PENGGUNA untuk menentukan di mana mereka bertanya. Artinya, apabila tidak ada receiver GPS untuk menghitung posisi pengguna/user tersebut, posisi orang tersebut tidak akan diketahui.

    2. GPS di bidang penerbangan.
    Sesungguhnya prinsip teknologi yang digunakan GPS ini sudah exist cukup lama di bidang penerbangan. Prinsipnya persis sama dengan DME (Distance Measuring Equipment), oleh komunitas yang bergerak di bidang navigasi, dikenal dengan istilah rho-rho ranging atau distance-distance ranging. Dan seperti DME system, GPS operation adalah line-of-sight operation yang artinya apabila anda tidak dapat melihat pemancar sinyalnya (DME atau Satelit GPS), entah karena terhalang tembok ataupun karena bumi itu bulat, kita tidak bisa menggunakan sinyalnya.

    Karena letak DME station di permukaan bumi (yang bulat), hal ini membuat DME sangat terbatas jangkauan operasionalnya. Selain itu, karena perhitungan distance dengan DME menggunakan sistem interogasi, kapasitas nya juga terbatas.

    Lahirnya GPS yang ditempatkan di angkasa dibandingkan stasiun DME yang ada di darat, memungkinkan jangkauan global untuk penentuan posisi. Selain itu, akurasi GPS juga memungkinkan untuk mencapai apa yang dikenal sebagai RNP (Required Navigation Performance). Lahirnya GPS telah membuka suatu wawasan baru untuk dunia aviasi, akurasi selama enroute dan approach juga lebih terjamin.

    3. GPS vs INS
    Dalam dunia navigasi, kita kenal 2 metode untuk menentukan lokasi user: position fixing dan dead reckoning. Contoh position fixing system adalah GPS, DME, VOR, etc. Contoh dead reckoning adalah pemetaan, timing dan INS.

    Dead reckoning adalah suatu cara penentuan lokasi user dengan menggunakan informasi tentang posisi awal dan kecepatan (atau percepatan). Contoh paling sederhana adalah apabila kita tahu bahwa pesawat kita bermula dari Soekarno-Hatta di koordinat sekian, dengan mengetahui kecepatan dan arah terbang kita (dan menggunakan informasi angin), kita bisa menghitung posisi pesawat tersebut setelah sekian menit terbang.

    Dalam pesawat ada yang disebut sebagai INS - Inertial Navigation System. System ini terdiri dari 2 komponen sensor utama, akselerometer dan gyroscope. Akselerometer mengukur percepatan gerak pesawat dan gyroscope menentukan rotasi pesawat (nose up/down, roll left/right, yaw left/right).

    Walaupun INS self-contained (artinya dapat digunakan tanpa ada bantuan dari alat eksternal - bandingkan dengan GPS yang membutuhkan satelit), tetapi akurasinya sangat rendah. Bayangkan ketika anda tidak mengetahui posisi awal anda dengan sangat akurat (misalnya anda awalnya sebenarnya berada di Halim tapi anda mengira anda ada di Soekarno-Hatta), atau anda tidak mengetahui arah terbang anda dengan akurat (misalnya anda kira anda terbang di heading 090 sementara sebenarnya anda terbang di heading 089), setelah 1 jam terbang, perkiraan anda tentang di mana anda berada bisa melenceng jauh dengan kenyataannya.
    INS yang ada di pesawat walaupun sangat akurat, setelah 1 jam terbang juga memiliki error yang cukup significant. Harga INS yang ada di pesawat, satu set sistemnya bisa mencapai harga ratusan juta rupiah, dan di setiap pesawat punya beberapa set sistem ini untuk redundancy (umumnya 3).

    Lahirnya GPS system dapat membantu untuk mempertahankan akurasi solusi navigasi yang dihasilkan. Hal ini dapat digambarkan demikian. Misalnya anda mengira anda terbang di heading 089 padahal anda terbang di heading 090. Setelah 1 jam terbang anda bakal mengira anda di satu tempat yang berbeda dengan tempat anda sebenarnya berada. Namun, dengan adanya GPS, anda bisa membandingkan posisi yang diberikan GPS dan posisi yang anda ukur dengan dead reckoning, kemudian mungkin anda bisa mengambil rata-ratanya (ingat GPS juga tidak error-free: ada level akurasi nya).

    4. Kalau GPS memang sedemikian baik, mengapa masih memiliki berbagai system lain? Bukankah itu buang-buang duit saja (mis. untuk maintenance)?
    Walaupun GPS sangat baik, namun GPS tidak fault-free dan tidak error-free. GPS signal sudah terbukti sangat mudah untuk diacak (signal jamming).

    Selain itu, penggunaan GPS juga hanya bisa untuk low bandwidth system. GPS receiver pada umumnya memberikan solusi navigasi (misalnya posisi) setiap 1 detik. Apabila kita menginginkan informasi posisi kita setiap 0.0001 detik misalnya, ini tidak bisa diberikan oleh GPS. Pesawat yang bermaneuver (misalnya akrobatik) adalah contoh system dengan high bandwidth. Kalau kita menginginkan detail dari posisi pesawat tersebut sampai ke 0.0001 detik misalnya, GPS tidak bisa memberikan informasi tersebut. Berbeda dengan INS, INS dapat memberikan informasi posisi untuk system dengan high bandwidth. Hal ini menyebabkan integrasi antara INS dan GPS sangat menguntungkan. INS dapat memberikan informasi dengan cepat dan GPS dapat mempertahankan akurasi solusi tersebut.


    Ada berbagai macam aplikasi dari GPS, misalnya differential positioning, dll. Semoga thread ini bisa jadi tempat diskusi untuk memperdalam pengetahuan tentang GPS.

    Source:  ilmuterbang.com

    Altimeter

    Nilai koreksi pada minimum altitude biasanya diajarkan sebagai bagian dari pelajaran Instrument Rating, tapi kebanyakan pesawat latih tidak terbang di atas transition altitude (11 ribu feet) dan transition level (Flight Level 130), sehingga tidak dipraktekkan dalam latihan sehari-hari.
    Setelah lulus dan menjadi penerbang komersial yang menerbangkan pesawat berkinerja tinggi (high performance), karena beban kerja pada waktu turun dari ketinggian jelajah cukup tinggi biasanya sebagian pilot lupa menghitung koreksi altitude ini. Koreksi ini dilakukan terhadap nilai QNH dan nilai suhu di stasiun terdekat. Tulisan ini hanyalah refreshing untuk pelajaran terkait. Meskipun teori ini dipakai pada waktu terbang dengan altimeter setting standard, perlu diingat juga bahwa altimeter akan menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada waktu terbang ke tempat dengan suhu dan/atau tekanan yang lebih rendah. Artinya pesawat lebih rendah dari penunjukkan altimeter. From high to low look out below....

    Terbang dengan altimeter di set pada 1013 hPa atau 29.92 in Hg di atas transition altitude

    Pada waktu terbang dekat di atas pegunungan dan altimeter setting pada keadaan standard (29.92 in Hg/1013 hPa) kita perlu memperhatikan local QNH karena jika local QNH kurang dari nilai standard maka pesawat berada pada ketinggian yang lebih rendah daripada yang terbaca di altimeter.
    Karena itu, nilai minimum seperti MEA, MORA dan lainnya harus kita tambahkan dengan nilai koreksi, sehingga kita tahu seberapa jauh pesawat terbang di atas obstacle.
    CASR part 91.121 membantu kita untuk memberikan tambahan nilai minimum tersebut dengan tabel yang ada. Nilai tersebut secara legal sudah memadai tapi sebenarnya kita bisa menghitung nilai koreksi tersebut berdasarkan nilai QNH yang ada. Rule of thumb di bawah ini adalah berdasarkan ICAO DOC 8168, Vol. 1, Part VI, Chapter 3.
    Rule of thumb untuk konversi ini adalah:
    1. Perbedaan OAT (Outside Air Temperature) sebanyak 10° C lebih rendah (lebih dingin) dari ISA memberikan perbedaan 4% pada indikasi ketinggian.
    2. Perbedaan 1 hPa/mb memberikan perbedaan sebanyak 30 feet.
    Rule of thumb di atas bisa dipakai sampai suhu -15 °C. Di bawah suhu -15° digunakan tabel yang lain yang akan diberikan di akhir tulisan.

    Terbang ke Bali melewati Surabaya dan waypoint Rabol.

    Untuk ilustrasi penggunaan koreksi altimeter kita akan membuat sebuah penerbangan virtual ke Denpasar yang melewati airway W33. Pada waktu terbang di airway W33 melewati VOR SBR dan waypoint RABOL, MEA yang tertulis di chart pada saat artikel ini ditulis adalah 13500 feet.
    ATC memberikan clearance untuk turun ke FL 150. ATIS memberikan data QNH di bandar udara Ngurah Rai adalah 1003 hPa, dan OAT yang terbaca di pesawat adalah -25° C.
    Langkah pertama: Koreksi suhu.
    Perbedaan OAT (Outside Air Temperature) sebanyak 10° C lebih rendah (lebih dingin) dari ISA memberikan perbedaan 4% pada indikasi ketinggian.
    ISA temperature pada sea level= 15° C dan berkurang 2° C setiap naik 1000 kaki. Maka ISA temperature pada 15000 feet (FL 150) adalah 15°C-30°C= - 15°C.
    Perbedaan dengan OAT -25° C= 10°C
    Maka koreksinya adalah: 135000 feet + 4% = 13500 feet + 540 feet =14040 feet.
    Langkah kedua: Koreksi tekanan
    Perbedaan 1 hPa/mb memberikan perbedaan sebanyak 30 feet.
    1013 – 1003 = 10 hPa.
    Koreksi tekanan = 10 x 30 feet = 300 feet
    Total koreksi= 14040 feet + 300 feet= 14340 feet.
    MEA yang telah dikoreksi adalah 14340 dan kita terbang di FL 150 = SAFE. Kita masih berada di atas MEA yang sudah dikoreksi berarti mempertahankan ketinggian tersebut adalah aman. Jika nilai koreksi MEA berada di atas cruise level maka kita harus naik ke ketinggian yang lebih tinggi dari MEA yang telah di koreksi .
    Pada kasus di atas, pesawat kita terbang 15000-14340 = 660 feet di atas MEA. Jadi ketinggian pesawat sesungguhnya adalah 13500 + 660= 14160 feet biarpun altimeter menunjukkan 15000 feet atau FL 150.

    Tabel koreksi

    Tabel koreksi di bawah digunakan untuk koreksi yang lebih akurat pada suhu yang sangat rendah terutama yang kurang dari -15° C. Kemungkinan tabel ini tidak akan kita gunakan di Indonesia karena suhu di Indonesia biasanya lebih dari +15° C.
    Contoh penggunaan tabel:
    Di sebuah aerodrome dilaporkan suhu -10°C dan elevasinya 1000 feet. Pada waktu melakukan approach:
    FIX Published altitude Ketinggian di atas elevasi airport Koreksi Indikasi ketinggian
    FAF (Final Approach Fix) 4000 3000 290 4290
    MDA (Minimum Descend Altitude) 1500 500 50 1550
    Jangan lupa memberi tahu ATC bahwa anda memberikan koreksi pada altitude clearance yang diberikan. Catatan: ATC di negara tertentu seperti Canada sudah memberikan koreksi terhadap suhu, jadi penerbang tidak perlu menambahkan koreksi pada ketinggian.
    Contoh NOTAM untuk Low Pressure yang ekstrim.
    EGTT LONDON FIR
    ----------------------
    1B230/10
    CAUTION - LOW ATMOSPHERIC PRESSURE IS FORECAST IN THE LONDON TMA.

    ALL PILOTS, ESPECIALLY THOSE INBOUND TO OR OUTBOUND FROM HEATHROW, GATWICK, LUTON, STANSTED, LONDON CITY, BIRMINGHAM, COVENTRY, BIGGIN HILL AND SOUTHEND ARE REQUESTED TO EXERCISE EXTREME CAUTION WHEN CLIMBING OR DESCENDING THROUGH THE TRANSITION ALTITUDE LEVEL DUE TO THE SIGNIFICANT DIFFERENCE BTN THE AD QNH AND THE STANDARD PRESSURE SETTING.
    IN THE UK ALL PRESSURE SETTINGS ARE GIVEN IN MILLIBARS.
    ISSUED BY THE LONDON TERMINAL CONTROL CENTRE.
    TEL: 00 44 (0) 2380 401 110.

    Fadjar Nugroho  
    Source:  ilmuterbang.com

    Circling Approach

    “Pada tanggal 15 April 2002, pukul 11:21:17 (02:21:17 UTC), Air China flight 129, sebuah Boeing 767-200ER, terdaftar di China sebagai B2552, dioperasikan oleh Air China, terbang dari Beijing, China ke Busan, Korea, jatuh di gunung Dotdae, berlokasi 4.6 km sebelah utara runway 18R di Gimhae airport, pada ketinggian 204 meters Mean Sea Level (MSL). Flight 129 meninggalkan Beijing airport, China, dengan satu captain, dua kopilot, delapan flight attendants dan 155 penumpang, dan sedang melakukan circling approach ke runway 18R di Gimhae airport, setelah mendapatkan landing clearance. “
    Demikian kira-kira terjemahan bebas dari paragraf awal laporan kecelakaan tersebut.  Pesawat tersebut sedang melakukan circling approach pada waktu terjadi kecelakaan. Di laporan sepanjang 168 halaman, dari sederet daftar kesalahan pilot dan perusahaan, ada sebuah pelajaran berharga bagi kita pilot yang masih hidup: tidak semua cirling approach bisa dilakukan. Selalu periksa circling minimum yang berlaku dan periksa kriteria circling apa yang dipakai di tempat tersebut.
    Sebelum kita bahas satu persatu tentang circling approach ini, bagi penerbang pesawat komersial penulis mengingatkan bahwa ada banyak kriteria dan 2 kriteria diantaranya dipakai secara luas di dunia ini untuk membuat sebuah circling approach, yaitu PAN OPS dari ICAO dan TERPS dari US FAA.
    Sementara banyak negara menjalankan kriteria dari ICAO Doc 8168, negara-negara seperti Saudi Arabia, Yunani, Korea Selatan dan lain-lain, mengambil kriteria TERPS dari US FAA. Perbedaan paling utama dari kedua kriteria tersebut adalah perbedaan kategori kecepatan pesawat dan perbedaan luas dari area yang terlindung (protected area) atau juga disebut Visual Manouvering Area. Perbedaan inilah yang menjadi salah satu penyebab kecelakaan Air China di atas.
    Ada juga negara seperti Jepang yang mempunyai kriteria circling sendiri baik untuk approach speed category maupun visual manouvering areanya.
    Pada gambar di atas terlihat sebuah contoh untuk category C visual manouvering area untuk kriteria ICAO PAN OPS lebih besar karena maksimum kecepatan pada waktu circling juga lebih besar. Mengambil contoh untuk kecepatan maksimum kategori C pada PAN OPS adalah 180 knots  (radius  visual manouvering area 4,5 nm) sedangkan pada TERPS adalah 121-140 knots (radius hanya 1,7 nm, tidak cukup untuk pesawat jet narrow body pada umumnya).
    Pesawat seperti B737 dan A320 masuk dalam kategori C di PAN OPS tapi mungkin masuk di kategori D atau malah E di TERPS. Dengan mengambil kategori D atau E maka nilai minimumnya (MDA, minimum descent altitude) akan lebih tinggi. Pada kecelakaan di atas sepertinya penerbang tanpa sadar mengambil kategori C untuk MDAnya padahal seharusnya dia mengambil kategori D atau E karena Korea Selatan mengadopsi TERPS untuk rancangan instrument approachnya.
    Bagaimana caranya mengetahui kriteria yang dipakai di sebuah chart? Pada chart profesional biasanya tertulis di chart misalnya chart keluaran dari Jeppesen ditulis di kiri bawah dari approach chart yang bersangkutan.
    Di perusahaan tempat penulis bekerja, melakukan circling pada approach dengan kriteria TERPS sama sekali tidak diperbolehkan karena keterbatasan area ini untuk menghindari kecelakaan yang sama.
    Circling approach pada umumnya jarang dilakukan oleh penerbang pesawat jet komersial, sehingga ada satu hal yang sering dilupakan, Missed Approach Procedure. Silahkan review kembali prosedur missed approach untuk circling approach di bagian akhir tulisan ini.
    Circling Approach/ Circle to land
    Biasanya pada waktu melakukan instrument approach, pada waktu mencapai Decision Height atau Missed Approach point, jika visibility cukup maka kita akan melihat landasan di depan kita. Mungkin dengan sedikit offset di sebelah kiri atau kanan. Sekarang masalahnya bagaimana jika kita harus mendarat di landasan yang tidak mempunyai instrument approach baik karena tidak memiliki perangkat yang diperlukan ataupun karena perangkat yang ada sedang rusak? Atau juga misalnya jika lokasi VOR jauh dari landasan dan kondisi geografis di sekitar landasan tidak memungkinkan untuk straight in instrument approach.
    Jawaban dari masalah ini adalah melakukan circling approach, yaitu melakukan instrument approach pada sebuah landasan, lalu diteruskan dengan circle to land, mendarat di landasan yang lain. Biasanya jika final approach course alignment lebih dari 30° dari garis tengah landasan (runway centerline).  Sebagai contoh silahkan lihat gambar berikut.
     Approach runway 36 circle to land runway 18
    Approach runway 36 circle to land runway 18

    Pesawat ini melakukan approach untuk runway 36 sampai sebelum mencapai missed approach point dan jarak pandang memungkinkan untuk melihat landasan, lalu melakukan circle to land untuk runway 18.
    Pada waktu mencapai Minimum Descent Altitude (MDA) atau Missed Approach point , pesawat boleh bertahan di ketinggian MDA dan terbang sedekat mungkin dengan landasan dan menjaga agar landasan tetap terlihat. Pesawat tidak boleh keluar dari visual manouvering area karena di luar area tersebut, obstacle clearance tidak terjamin seperti yang terjadi pada kecelakaan di atas.
    Haruskah pesawat turun ke MDA pada waktu melakukan circling approach? Tidak. Jika landasan terlihat di ketinggian normal  VFR circuit pattern dan penerbang yakin dapat menjaga agar landasan tetap terlihat pada ketinggian tersebut maka bisa saja circle to land dilaku
    kan di ketinggian sedekat mungkin dengan  normal circuit pattern yang lebih tinggi dari MDA.
    Contoh beberapa model dari circle to land
    Contoh beberapa model dari circle to land


    Jika pada sebuah approach yang sudutnya kurang dari 90 derajat dari landasan seperti pada gambar A dan B berikut, maka bisa dilakukan landing di landasan jika landasan terlihat dengan jarak yang cukup seperti pada gambar A.
    Jika pada waktu landasan terlihat, jarak pesawat ke landasan tidak cukup untuk melakukan pendaratan maka dilakukan circle to land seperti pada gambar B. Patut di ingat arah downwind harus mengikuti aturan dari chart yang ada. Tidak bebas untuk mengambil left atau right downwind



    Fadjar Nugroho .
    Source:  ilmuterbang.com